Minggu, 22 Juli 2012

Lingkungan Dondo Terancam Rusak

Penulis: Moh. Rifai M. Hadi
(Anggota Mapala Kumtapala Fak. Hukum Untad)

Kecamatan Dondo merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Memiliki luas wilayah daratan kurang lebih 624,23 Ha dan, didiami oleh kurang lebih 21.828 jiwa. Dondo yang berjarak sekitar 60 km dari Ibu Kota Kabupaten ini, berpenduduk mayoritas petani, nelayan dan, ada yang Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Luas hutan lindung di Kecamatan Dondo, mencapai 15.888,0 ha, hutan produksi 23.833,00 ha, hutan Konversi 4.158,00 ha, hutan Rakyat 1.208,0 ha, hutan suaka 2.215,00 ha. (Sumber Data Dinas Kehutanan Kab. Tolitoli). 


Dari hasil tim investigasi Mapala Kumtapala bahwa, di Kecamatan Dondo terjadi degradasi lingkungan. Bahkan keterancaman hutan yang dibumbui oleh flora-fauna menjadi ciri khas Kecamatan Dondo akan punah dan hanya meninggalkan catatan sejarah. Betapa tidak. Selain pengusaha-pengusaha lokal yang nakal juga ada beberapa perusahaan tambang yang ingin memporak-porandakan hutan di Dondo. 

Dalam capaian arena hutan yang merupakan sasaran utama bagi para perusak “handal” adalah, strategi ampuh untuk melumpuhkan niat para pembela lingkungan. Regulasi yang diciptakan pun tak mampu melindungi lingkungan yang, sampai saat ini mampu digerogoti oleh pemilik modal. UU Nomor 32 Tahun 2009, adalah pengganti UU nomor 23 Tahun 1997, menyebutkan bahwa Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Juga disebutkan dalam pasal 65 ayat (2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun dapat dipastikan, bahwa hak atas lingkungan hidup yang  baik dan sehat, sudah tidak berlaku lagi, diikutsertakan dengan berbagai fenomena bencana alam yang mengancam lingkungan Dondo nantinya.

Begitu pun dengan Undang-undang Kehutanan menyebutkan, bahwa Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang, didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Juga pada pasal Pasal 68 ayat (1) menyebutkan, bahwa masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Dan lagi-lagi bisa dipastikan, bahwa menikmati lingkungan hidup yang sehat, hanyalah sebuah “mimpi” panjang yang tak akan pernah usai, jika eksploitasi sumber daya alam memakan ribuan pohon dan gunung yang ada di Dondo.

Penyebaran IUP, yang dulunya berpisah. Namun sekarang telah bersekongkol untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan segelintir orang.  Kekuatan politik birokrasi sangat sulit untuk dilawan. Ketika mengeluarkan beberapa lembar kertas yang, bertuliskan “Izin Eksploitasi”, maka rakyat-lah yang menanggung beberapa kertas itu, rakyat dianggap sebagai penikmat kerusakan yang, diakibatkan oleh eksploitasi sumber daya alam.

Penguasaan ruang hidup masyarakat Dondo, sebentar lagi akan pupus. Berdalih pada kepentingan pemodal yang, mengiming-imingi Corporate Sosiety Responcibility (CSR) kepada masyarakat Dondo. Padahal dibalik CSR itu, ada bahaya yang akan mengancam dikemudian hari.

Tak Berkaca Pada Daerah Lain

Konflik agraria semakin marak di Indonesia saat ini. Pada rezim orde baru dan, pasca Orde baru, sederetan konflik berbasis sumber Daya Alam, akibat dari wewenang Otonomi Daerah (Otda). Begitupun dengan Dondo yang, hutannya cukup luas dan, memiliki hutan lindung serta masuk dalam Cagar Alam Gunung Sojol, telah disinyalir, bahwa Izin Usaha Pertambangan-lah, yang akan merusaknya.

Pemerintah Kabupaten Tolitoli, sangat ringan tangan untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan di Kecamatan Dondo. Sebagai alasan mutlak adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), juga meningkatkan lapangan pekerjaan bagi rakyat sekitar. Meskipun dalam pengerukan Sumber Daya Alam itu, memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Namun, pemerintah tidak pernah berkaca pada daerah-daerah lain yang, saat ini sedang atau telah dijajah oleh perusak lingkungan itu.

Sebagai contoh: Kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem hayati yang disebabkan bekas pertambangan batubara di Desa Leban, Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo. Lubang-lubang bekas galian yang menyerupai danau buatan sedalam 50 centi meter hingga 2 meter itu dibiarkan menganga tanpa ditimbun kembali (reklamasi). Sehingga banyak pihak menyayangkan kondisi lokasi tambang batu bara tersebut. Disebutkan, batubara hasil tambang tersebut sebagian besar untuk mensuplay kebutuhan bahan baker PT Wira Karya Sakti (WKS). Hasil pertambangan juga dibawa ke Padang, Sumatera Barat. Pihak perusahaan pertambangan batubara itu hingga kini belum mereklamasi lubang bekas galian.

Warga Kolo Bawah, Kecamatan Mamosalato, dipaksa pasrah menerima nasib bahwa Pulau Tiaka yang secara turun-temurun menjadi tempat mereka mencari ikan, kini menjadi anjungan pengeboran minyak yang dikelola PT Pertamina-Medco. Nelayan tak boleh mendekat lagi dan tak mendapatkan kompensasi. Warga Kolo Bawah kian meradang karena warga dari desa lain justru diberi kompensasi. Hal ini bisa memicu konflik antarwarga. Perlawanan warga pada Agustus 2011 menyebabkan dua warga tewas tertembak. Kemiskinan kini kian akrab pada warga Kolo Bawah. Dengan maraknya investor itu, tentu pemerintah berharap kesejahteraan rakyat Morowali, yang 20 persen dari sekitar 200.000 warganya masih miskin, pun terangkat. Harapannya, warga Morowali kian sejahtera.

Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, pernah mengatakan, bahwa kegiatan pertambangan memberikan dampak kerusakan lingkungan terbesar. Menurutnya, bahwa “Pertambangan yang paling dahsyat merusak alam. Gunung digali akan habis. Tapi kerusakan itu karena ulah manusia sebab yang salah adalah caranya."

Dalam Al’Quran juga menyebutkan, bahwa " kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia."

Naahh…!!! Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, apakah Pemerintah dengan misi mengejar keuntungan sebesar-besarnya itu, mempedulikan kepentingan lingkungan? Sepertinya bagi mereka, kerusakan lingkungan bukanlah sumber masalah, asal fee mengalir dengan lancar. Apalagi dikawasan konsesi perusahaan tambang yang dilegitimasi oleh pemerintah itu, terdapat sumber air, sebagai sumber kehidupan masyarakat Dondo dan di luar Kecamatan Dondo. Mustahil tentunya, jika kita menganggap bahwa sumber air itu tidak akan hancur.

Disisi lain, para perusak lingkungan tidak mampu me-reboisasi kembali wilayah konsesinya. Mereka hanya meninggalkan kerusakan yang ditanggung oleh masyarakat yang tinggal disekitarnya.

Inilah potret buram bagi para pengambil kebijakan di negeri ini. Alih fungsi kawasan hutan juga, marak terjadi, padahal fungsi hutan sangatlah jelas dalam UU Kehutanan. Dengan beralihnya fungsi kehutanan itu, maka hal yang tak terhindarkan adalah terjadinya DEGRADASI lingkungan.

Tidak ada komentar: