Penulis: Moh. Rifai M. Hadi
(Anggota Mapala Kumtapala Fak. Hukum Untad)
Kecamatan
Dondo merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi
Tengah. Memiliki luas wilayah daratan kurang lebih 624,23 Ha dan, didiami oleh
kurang lebih 21.828 jiwa. Dondo yang berjarak sekitar 60 km dari Ibu Kota
Kabupaten ini, berpenduduk mayoritas petani, nelayan dan, ada yang Pegawai
Negeri Sipil (PNS).
Luas hutan
lindung di Kecamatan Dondo, mencapai 15.888,0
ha, hutan produksi 23.833,00 ha, hutan Konversi 4.158,00 ha, hutan Rakyat 1.208,0
ha, hutan suaka 2.215,00 ha. (Sumber Data Dinas Kehutanan Kab. Tolitoli).
Dari hasil tim investigasi Mapala Kumtapala bahwa, di
Kecamatan Dondo terjadi degradasi lingkungan. Bahkan keterancaman hutan yang
dibumbui oleh flora-fauna menjadi ciri khas Kecamatan Dondo akan punah dan
hanya meninggalkan catatan sejarah. Betapa tidak. Selain pengusaha-pengusaha
lokal yang nakal juga ada beberapa perusahaan tambang yang ingin
memporak-porandakan hutan di Dondo.
Dalam capaian arena hutan yang
merupakan sasaran utama bagi para perusak “handal” adalah, strategi ampuh untuk
melumpuhkan niat para pembela lingkungan. Regulasi yang diciptakan pun tak
mampu melindungi lingkungan yang, sampai saat ini mampu digerogoti oleh pemilik
modal. UU Nomor 32 Tahun 2009, adalah pengganti UU nomor 23 Tahun 1997,
menyebutkan bahwa Lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Juga
disebutkan dalam pasal 65 ayat (2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan
lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam
memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun dapat dipastikan,
bahwa hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat, sudah tidak berlaku lagi, diikutsertakan dengan berbagai
fenomena bencana alam yang mengancam lingkungan Dondo nantinya.
Begitu
pun dengan Undang-undang Kehutanan menyebutkan, bahwa Hutan adalah suatu
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang,
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan. Juga pada pasal Pasal 68 ayat (1) menyebutkan,
bahwa masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan
hutan. Dan lagi-lagi bisa dipastikan, bahwa menikmati lingkungan hidup yang
sehat, hanyalah sebuah “mimpi” panjang yang tak akan pernah usai, jika
eksploitasi sumber daya alam memakan ribuan pohon dan gunung yang ada di Dondo.
Penyebaran
IUP, yang dulunya berpisah. Namun sekarang telah bersekongkol untuk meraup
keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan segelintir orang. Kekuatan politik birokrasi sangat sulit untuk
dilawan. Ketika mengeluarkan beberapa lembar kertas yang, bertuliskan “Izin
Eksploitasi”, maka rakyat-lah yang menanggung beberapa kertas itu, rakyat
dianggap sebagai penikmat kerusakan yang, diakibatkan oleh eksploitasi sumber
daya alam.
Penguasaan
ruang hidup masyarakat Dondo, sebentar lagi akan pupus. Berdalih pada kepentingan
pemodal yang, mengiming-imingi Corporate Sosiety
Responcibility (CSR) kepada masyarakat Dondo. Padahal dibalik CSR itu, ada
bahaya yang akan mengancam dikemudian hari.
Tak Berkaca Pada Daerah Lain
Konflik
agraria semakin marak di Indonesia saat ini. Pada rezim orde baru dan, pasca Orde
baru, sederetan konflik berbasis sumber Daya Alam, akibat dari wewenang Otonomi
Daerah (Otda). Begitupun dengan Dondo yang, hutannya cukup luas dan, memiliki
hutan lindung serta masuk dalam Cagar Alam Gunung Sojol, telah disinyalir,
bahwa Izin Usaha Pertambangan-lah, yang akan merusaknya.
Pemerintah Kabupaten Tolitoli, sangat ringan
tangan untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan di Kecamatan Dondo. Sebagai alasan
mutlak adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), juga meningkatkan
lapangan pekerjaan bagi rakyat sekitar. Meskipun dalam pengerukan Sumber Daya
Alam itu, memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Namun,
pemerintah tidak pernah berkaca pada daerah-daerah lain yang, saat ini sedang
atau telah dijajah oleh perusak lingkungan itu.
Sebagai contoh: Kerusakan lingkungan hidup dan
ekosistem hayati yang disebabkan bekas pertambangan batubara di Desa Leban,
Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo. Lubang-lubang bekas galian yang
menyerupai danau buatan sedalam 50 centi meter hingga 2 meter itu dibiarkan
menganga tanpa ditimbun kembali (reklamasi). Sehingga banyak pihak menyayangkan
kondisi lokasi tambang batu bara tersebut.
Disebutkan, batubara hasil tambang tersebut sebagian
besar untuk mensuplay kebutuhan bahan baker PT Wira Karya Sakti (WKS). Hasil pertambangan
juga dibawa ke Padang, Sumatera Barat. Pihak perusahaan pertambangan batubara
itu hingga kini belum mereklamasi lubang bekas galian.
Warga Kolo
Bawah, Kecamatan Mamosalato, dipaksa pasrah menerima nasib bahwa Pulau Tiaka
yang secara turun-temurun menjadi tempat mereka mencari ikan, kini menjadi
anjungan pengeboran minyak yang dikelola PT Pertamina-Medco. Nelayan tak boleh
mendekat lagi dan tak mendapatkan kompensasi. Warga Kolo Bawah kian meradang
karena warga dari desa lain justru diberi kompensasi. Hal ini bisa memicu
konflik antarwarga. Perlawanan warga pada Agustus 2011 menyebabkan dua warga
tewas tertembak. Kemiskinan kini kian akrab pada warga Kolo Bawah. Dengan
maraknya investor itu, tentu pemerintah berharap kesejahteraan rakyat Morowali,
yang 20 persen dari sekitar 200.000 warganya masih miskin, pun terangkat.
Harapannya, warga Morowali kian sejahtera.
Mantan
Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, pernah mengatakan, bahwa kegiatan pertambangan
memberikan dampak kerusakan lingkungan terbesar. Menurutnya, bahwa “Pertambangan yang paling dahsyat merusak
alam. Gunung digali akan habis. Tapi kerusakan itu karena ulah manusia sebab
yang salah adalah caranya."
Dalam Al’Quran juga menyebutkan, bahwa "
kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia."
Naahh…!!! Yang jadi pertanyaan sekarang
adalah, apakah Pemerintah dengan misi mengejar keuntungan sebesar-besarnya itu,
mempedulikan kepentingan lingkungan? Sepertinya bagi mereka, kerusakan lingkungan
bukanlah sumber masalah, asal fee mengalir
dengan lancar. Apalagi dikawasan konsesi perusahaan tambang yang dilegitimasi
oleh pemerintah itu, terdapat sumber air, sebagai sumber kehidupan masyarakat
Dondo dan di luar Kecamatan Dondo. Mustahil tentunya, jika kita menganggap
bahwa sumber air itu tidak akan hancur.
Disisi lain, para perusak lingkungan
tidak mampu me-reboisasi kembali wilayah konsesinya. Mereka hanya meninggalkan
kerusakan yang ditanggung oleh masyarakat yang tinggal disekitarnya.
Inilah potret buram bagi para pengambil
kebijakan di negeri ini. Alih fungsi kawasan hutan juga, marak terjadi, padahal
fungsi hutan sangatlah jelas dalam UU Kehutanan. Dengan beralihnya fungsi
kehutanan itu, maka hal yang tak terhindarkan adalah terjadinya DEGRADASI
lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar