Suasana Balaesang Tanjung dari ketinggian. Dok; Kumtapala |
Kecamatan
Balaesang Tanjung, adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Donggala. Yang memiliki
8 desa yakni: Desa Malei, Ketong, Rano, Kamonji, Walandano, Palau, Pomolulu. Dari
beberapa desa itu, ada 6 desa yang menjadi sasaran perusahaan tambang PT.
Cahaya Manunggal Abadi (CMA).
PT.
Cahaya Manunggal Abadi (CMA), mendapat legitimasi dari Bupati Donggala dengan
nomor Izin Usaha Pertambangan; 188.45/0288/DESDM/2010, seluas 5.000 Ha. Luas wilayah
Balaesang Tanjung 118,85 km2 yang berarti, bahwa hampir setengah
wilayah Balaesang Tanjung dicaplok oleh perusahaan tambang tersebut. Juga hampir
semua lahan dipegunungan Balaesang Tanjung sudah memiliki tanaman produktif
berupa; kelapa, cengkih dan, durian.
Dari
ditetapkannya IUP, pada tahun 2010 hingga sekarang, masyarakat Balaesang
Tanjung mati-matian menolak, karena pertambangan bukan keinginan mereka. Selain
itu perusahaan tambang juga, akan mengancam lingkungan yang selama ini mereka
jaga, melalui payung adat. Penolakan itu memang cukup
beralasan. Karena
potensi kerusakan lingkungan sangat
besar, wilayah itu tidak memungkinkan untuk pertambangan, kondisi geologis
sangat rawan dengan bencana karena struktur kerak buminya tidak padat dan jalur
gempa.
Dari hasil investigasi Mapala Kumtapala Fakultas Hukum Universitas Tadulako, bahwa areal yang dicadangkan untuk rencana pertambangan adalah sumber penghidupan dari desa-desa yang terdapat di wilayah Balaesang Tanjung yaitu: Desa Rano, Malei, Kamonji, Pomolulu, Palau dan, Desa Walandano. Keenam desa tersebut sangat bergantung dengan sumber daya di wilayah kawasan pegunungan Sirunat, terutama sumber daya air (hidrologi), sebagai sumber air minum, mandi dan, kebutuhan lainnya.
Menurut Muh. Akbar Lamasipato, anggota Mapala Kumtapala mengatakan, "Sumber daya alam mineral logam adalah, sumber daya alam yang tidak dapat dipulihkan atau tidak dapat diperbaharui dengan tekhnologi apapun. Oleh karena itu, pertambangan tidak dapat dilakukan di wilayah Balaesang Tanjung yang, berpotensi menghancurkan generasi yang akan datang."
Dari hasil investigasi Mapala Kumtapala Fakultas Hukum Universitas Tadulako, bahwa areal yang dicadangkan untuk rencana pertambangan adalah sumber penghidupan dari desa-desa yang terdapat di wilayah Balaesang Tanjung yaitu: Desa Rano, Malei, Kamonji, Pomolulu, Palau dan, Desa Walandano. Keenam desa tersebut sangat bergantung dengan sumber daya di wilayah kawasan pegunungan Sirunat, terutama sumber daya air (hidrologi), sebagai sumber air minum, mandi dan, kebutuhan lainnya.
Menurut Muh. Akbar Lamasipato, anggota Mapala Kumtapala mengatakan, "Sumber daya alam mineral logam adalah, sumber daya alam yang tidak dapat dipulihkan atau tidak dapat diperbaharui dengan tekhnologi apapun. Oleh karena itu, pertambangan tidak dapat dilakukan di wilayah Balaesang Tanjung yang, berpotensi menghancurkan generasi yang akan datang."
Lanjutnya, "Kebijakan
pemerintah daerah Kabupaten Donggala, sangat bertolak berlakang dengan
keinginan masyarakat. Sebab, keinginan masyarakat Balaesang Tanjung adalah
meningkatkan wilayah pertanian dan, menjadikan kecamatan Balaesang Tanjung
sebagai objek wisata. Juga, pemerintah mengeluarkan IUP tersebut, tanpa
pengetahuan masyarakat, padahal dalam proses pengeluaran izin tersebut, harus
ada asas partisipatif. Namun, hal itu
tidak dilakukan sama sekali dan, masyarakat kaget ketika Balaesang Tanjung
ditetapkan sebagai wilayah pertambangan. Meskipun
Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), tersusun rapi dan, mengatakan
tidak akan merusak lingkungan. Namun, hampir disetiap daerah yang sedang dijajah
oleh perusahaan tambang saat ini, tidak ada yang tidak merusak lingkungan," tandasnya.
Danau Rano Juga, Terancam
Danau Rano. Dok: Kumtapala |
Danau
Rano, yang terdapat di Desa Rano kecamatan Balaesang Tanjung. Danau Rano
berpotensi sebagai objek wisata yang menjanjikan. Dana Rano itu dikelilingi
oleh rumah dan kebun-kebun masyarakat. Ikan Nila adalah penghuni tetap Danau
Rano. Biasanya masyarakat mengambil ikan di danau itu secara kolektif dan
sendiri-sendiri jika dibutuhkan.
Namun,
dapat disayangkan, bahwa Danau Rano itu terancam hanya meninggalkan sejarah,
yang akan di dongengkan pada generasi-generasi selanjutnya, ketika sebelum
tidur. Hal ini juga mendapat protes keras dari masyarakat Balaesang Tanjung,
sebab mereka tidak setuju, bahwa Danau Rano dirusak oleh perusahaan tambang. Apalagi
perusahaan tambang itu merampas hak-hak kelola mereka.
Lebih
dari itu, perusahaan tambang juga, telah merusak hubungan sosial masyarakat
Balaesang Tanjung. Konflik sosial terjadi dibeberapa desa, hanya karena
masing-masing mempertahankan pendapatnya (pro-kontra). Begitupun dengan upaya
pihak perusahaan berupa intimidasi kepada masyarakat “kontra.” Hal itu sangat
tidak profesional, tentunya apa yang pihak perusahaan lakukan, sama sekali
tidak menghargai hak masyarakat Balaesang Tanjung.
Bersama Warga Malei. Dok: Kumtapala |
Salah satu warga Rano,
Saini, (39 tahun) juga mengatakan, “wilayah konsesi PT. CMA itu, masuk diwilayah perkebunan
masyarakat, juga mengambil sebagian Danau Rano. Padahal, kebun-kebun itu sudah
sejak dulu kami kelolah dan, menghidupi keluarga mereka,” ungkap lelaki yang
memiliki 4 orang anak itu, dikediamannya. "Hal ini yang membuat warga emosi, selain dari pencaplokan, perusahaan tambang juga, melarang kami dan menuduh warga mengambil emas diwilayahnya. Padahal areal itu adalah kebun kami," tambahnya.
Jadi, jika PT. CMA tetap ambisi untuk meningkatkan status IUP-nya menjadi Eksploitasi maka, degradasi lingkungan tidak bisa dihindari diwilayah Balaesang Tanjung.
Jadi, jika PT. CMA tetap ambisi untuk meningkatkan status IUP-nya menjadi Eksploitasi maka, degradasi lingkungan tidak bisa dihindari diwilayah Balaesang Tanjung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar