Jumat, 06 Juli 2012

Perusahaan Tambang, Ancam Lingkungan Balaesang Tanjung

Suasana Balaesang Tanjung dari ketinggian. Dok; Kumtapala
Kecamatan Balaesang Tanjung, adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Donggala. Yang memiliki 8 desa yakni: Desa Malei, Ketong, Rano, Kamonji, Walandano, Palau, Pomolulu. Dari beberapa desa itu, ada 6 desa yang menjadi sasaran perusahaan tambang PT. Cahaya Manunggal Abadi (CMA).

PT. Cahaya Manunggal Abadi (CMA), mendapat legitimasi dari Bupati Donggala dengan nomor Izin Usaha Pertambangan; 188.45/0288/DESDM/2010, seluas 5.000 Ha. Luas wilayah Balaesang Tanjung 118,85 km2 yang berarti, bahwa hampir setengah wilayah Balaesang Tanjung dicaplok oleh perusahaan tambang tersebut. Juga hampir semua lahan dipegunungan Balaesang Tanjung sudah memiliki tanaman produktif berupa; kelapa, cengkih dan, durian.

Dari ditetapkannya IUP, pada tahun 2010 hingga sekarang, masyarakat Balaesang Tanjung mati-matian menolak, karena pertambangan bukan keinginan mereka. Selain itu perusahaan tambang juga, akan mengancam lingkungan yang selama ini mereka jaga, melalui payung adat. Penolakan itu memang cukup beralasan. Karena potensi kerusakan lingkungan sangat besar, wilayah itu tidak memungkinkan untuk pertambangan, kondisi geologis sangat rawan dengan bencana karena struktur kerak buminya tidak padat dan jalur gempa. 


Dari hasil investigasi Mapala Kumtapala Fakultas Hukum Universitas Tadulako, bahwa areal yang dicadangkan untuk rencana pertambangan adalah sumber penghidupan dari desa-desa yang terdapat di wilayah Balaesang Tanjung yaitu: Desa Rano, Malei, Kamonji, Pomolulu, Palau dan, Desa Walandano. Keenam desa tersebut sangat bergantung dengan sumber daya di wilayah kawasan pegunungan Sirunat, terutama sumber daya air (hidrologi), sebagai sumber air minum, mandi dan, kebutuhan lainnya. 


Menurut Muh. Akbar Lamasipato, anggota Mapala Kumtapala mengatakan, "Sumber daya alam mineral logam adalah, sumber daya alam yang tidak dapat dipulihkan atau tidak dapat diperbaharui dengan tekhnologi apapun. Oleh karena itu, pertambangan tidak dapat dilakukan di wilayah Balaesang Tanjung yang, berpotensi menghancurkan generasi yang akan datang."

Lanjutnya, "Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Donggala, sangat bertolak berlakang dengan keinginan masyarakat. Sebab, keinginan masyarakat Balaesang Tanjung adalah meningkatkan wilayah pertanian dan, menjadikan kecamatan Balaesang Tanjung sebagai objek wisata. Juga, pemerintah mengeluarkan IUP tersebut, tanpa pengetahuan masyarakat, padahal dalam proses pengeluaran izin tersebut, harus ada asas partisipatif. Namun, hal itu tidak dilakukan sama sekali dan, masyarakat kaget ketika Balaesang Tanjung ditetapkan sebagai wilayah pertambangan. Meskipun Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), tersusun rapi dan, mengatakan tidak akan merusak lingkungan. Namun, hampir disetiap daerah yang sedang dijajah oleh perusahaan tambang saat ini, tidak ada yang tidak merusak lingkungan," tandasnya. 

Danau Rano Juga, Terancam

Danau Rano. Dok: Kumtapala
Danau Rano, yang terdapat di Desa Rano kecamatan Balaesang Tanjung. Danau Rano berpotensi sebagai objek wisata yang menjanjikan. Dana Rano itu dikelilingi oleh rumah dan kebun-kebun masyarakat. Ikan Nila adalah penghuni tetap Danau Rano. Biasanya masyarakat mengambil ikan di danau itu secara kolektif dan sendiri-sendiri jika dibutuhkan.

Namun, dapat disayangkan, bahwa Danau Rano itu terancam hanya meninggalkan sejarah, yang akan di dongengkan pada generasi-generasi selanjutnya, ketika sebelum tidur. Hal ini juga mendapat protes keras dari masyarakat Balaesang Tanjung, sebab mereka tidak setuju, bahwa Danau Rano dirusak oleh perusahaan tambang. Apalagi perusahaan tambang itu merampas hak-hak kelola mereka.

Lebih dari itu, perusahaan tambang juga, telah merusak hubungan sosial masyarakat Balaesang Tanjung. Konflik sosial terjadi dibeberapa desa, hanya karena masing-masing mempertahankan pendapatnya (pro-kontra). Begitupun dengan upaya pihak perusahaan berupa intimidasi kepada masyarakat “kontra.” Hal itu sangat tidak profesional, tentunya apa yang pihak perusahaan lakukan, sama sekali tidak menghargai hak masyarakat Balaesang Tanjung.



Bersama Warga Malei. Dok: Kumtapala
Salah satu warga Rano, Saini, (39 tahun) juga mengatakan, “wilayah konsesi PT. CMA itu, masuk diwilayah perkebunan masyarakat, juga mengambil sebagian Danau Rano. Padahal, kebun-kebun itu sudah sejak dulu kami kelolah dan, menghidupi keluarga mereka,” ungkap lelaki yang memiliki 4 orang anak itu, dikediamannya. "Hal ini yang membuat warga emosi, selain dari pencaplokan, perusahaan tambang juga, melarang kami dan menuduh warga mengambil emas diwilayahnya. Padahal areal itu adalah kebun kami," tambahnya. 


Jadi, jika PT. CMA tetap ambisi untuk meningkatkan status IUP-nya menjadi Eksploitasi maka, degradasi lingkungan tidak bisa dihindari diwilayah Balaesang Tanjung. 

Tidak ada komentar: