Kamis, 05 Juli 2012

Pak Guru, Sebagai “Kunci Nomor Dua” Di Gunung Sojol

Oleh: Moh. Rifai M. Hadi
Penulis Adalah Anggota Tetap Mapala Kumtapal

Pak Guru
Umurnya sekitaran 70-an tahun. Kepalanya yang hampir semua, dibumbui warna putih itu, senantiasa berjuang dalam komunitas kearifan lokal mereka. Maka, siapapun yang berjumpa dengannya akan mendapatkan sebuah simpatik sebagai ciri khasnya.

Dia bukan anggota Legislatif, bukan kepala desa, apalagi kepala Dusun, bukan pula peneliti yang berasal dari Prancis. Dia hanya seorang “Guru Karate” sekaligus petani tulen. Beliau disebut sebagai Pak Guru, sebab semenjak dia  menginjakkan kaki di Dusun Sipator Desa Siboang Kecamatan Sojol, mengajarkan Karate kepada penduduk setempat, selama bertahun-tahun. Maka, dari situlah gelar “Pak Guru” ia sandang, sebagai predikat penghargaan dari para murid nya.

Di usianya yang cukup tua itu, seharusnya ia sedang menikmati masa tuanya. Namun bagi Pak Guru, hal itu akan menyebabkan ia sakit-sakitan. Rambut putih di kepalanya, sama sekali tidak membatasi setiap aktifitasnya saat turun dari rumahnya yang tinggi itu.

Bagi kami, dia, Pak Guru adalah sebagai “juru kunci kedua” bagi gunung Sojol, maka tidak heran setiap para pendaki yang ingin berkunjung ke gunung sojol tersebut, bisa “di wajibkan” untuk melapor kepadanya.

“Kami heran saat itu. Sebelumnya, kami tidak pernah memberitahukan kepada penduduk Desa Siboang, apalagi pada suku Lauje (yang mendiami di pegunungan Sojol), sama sekali tidak. Namun, anehnya Pak Guru sudah mengetahui kedatangan kami sebelumnya.”

Saat kami bertemu dengannya, beliau mengatakan, “saya sudah tahu kalian dan, maksud kalian menemui saya” Hal ini sangat aneh, tapi kenyataannya seperti itu.

Pak Guru juga, bukan sebagai “penentu” kebijakan yang bisa memastikan kedatangan orang. Mungkin, batin dan imajinasi nya  bisa menerawang akan maksud dan kedatangan orang lain kepadanya.  Dalam situasi seperti apapun yang menimpa, baik itu para peserta pendakian maupun warganya yang ada di pegunungan Sojol, Pak Guru  pasti mengetahui hal itu.

Suatu ketika, ada beberapa pendaki yang mencoba melanggar beberapa “aturan”  yang keluar dari mulut Pak Guru. Dalam perjalanan pendakian, salah satu dari mereka hampir tidak memiliki nyawa lagi, karena arah mata sumpit sebagai senjata “pamungkas” suku lauje itu, hinggap di carier. Konon, mereka takut dengan sebuah ponco (jas hujan) berloreng-loreng: hijau, putih, coklat, seperti yang digunakan pendaki itu.
Entah apa yang menyebabkan mereka seperti itu. Utamanya mereka yang masih tinggal diatas pohon, takut dengan pakaian TNI.

Lenggak-lenggoknya saat berjalan, suaranya yang semakin dimakan usia semakin tidak jelas, telinganya, juga makin tidak mendengar. Membuatnya tidak Galau dalam menjalankan setiap aktivitasnya. Namun, satu hal yang perlu diajukan jempol untuk pak guru ini. Beliau selalu tabah dalam menghadapi hidup. Bukan karena ia pasrah, tapi lebih dari sekedar mencari sesuap nasi untuknya sendiri dan bala cici-cucunya yang nakal. Yang sesekali membuat pak guru bersuara besar, ketika cucunya bertingkah aneh dan tidak sepatutnya.   

Juga ada beberapa hal yang membuat kami terkagum-kagum padanya, adalah ketika jiwa dan raganya dikorbankan untuk orang lain. Sifat kepahlawannya menyebabkan ia, pak guru, sebagai sosok yang pemberani dan patut dicontohi.

Pak Guru memang sangat akrab dengan Gunung Sojol, pada tahun 1993 dan 1994, Pak Guru ikut berlibur dan memburu Triangulasi di puncak Sojol bersama para anggota Kumtapala. Pak guru sangat berjasa bagi Kumtapala. Bukan dari segi materi, namun dari berbagai hal. 

Pak Guru, kau adalah “kunci Nomor Dua” bagi gunung Sojol. Terima kasih pak guru, engkau telah berjasa bagi kami, berjasa bagi keluargamu, saudaramu, tetanggamu dan, bagi rakyatmu di kawasan gunung sojol. kami selalu ingat segala kebaikanmu, pengorbananmu dan, jiwa tanpa pamrih-mu.

Tidak ada komentar: