Oleh: Moh. Rifai M. Hadi
Penulis Adalah Anggota Tetap Mapala Kumtapal
Pak Guru |
Umurnya
sekitaran 70-an tahun. Kepalanya yang hampir semua, dibumbui warna putih itu, senantiasa
berjuang dalam komunitas kearifan lokal mereka. Maka, siapapun yang berjumpa
dengannya akan mendapatkan sebuah simpatik sebagai ciri khasnya.
Dia
bukan anggota Legislatif, bukan kepala desa, apalagi kepala Dusun, bukan pula
peneliti yang berasal dari Prancis. Dia hanya seorang “Guru Karate” sekaligus
petani tulen. Beliau disebut sebagai Pak Guru, sebab semenjak dia menginjakkan kaki di Dusun Sipator Desa Siboang
Kecamatan Sojol, mengajarkan Karate kepada penduduk setempat, selama
bertahun-tahun. Maka, dari situlah gelar “Pak Guru” ia sandang, sebagai
predikat penghargaan dari para murid nya.
Di
usianya yang cukup tua itu, seharusnya ia sedang menikmati masa tuanya. Namun
bagi Pak Guru, hal itu akan menyebabkan ia sakit-sakitan. Rambut putih di kepalanya,
sama sekali tidak membatasi setiap aktifitasnya saat turun dari rumahnya yang
tinggi itu.
Bagi
kami, dia, Pak Guru adalah sebagai “juru kunci kedua” bagi gunung Sojol, maka
tidak heran setiap para pendaki yang ingin berkunjung ke gunung sojol tersebut,
bisa “di wajibkan” untuk melapor kepadanya.
“Kami
heran saat itu. Sebelumnya, kami tidak pernah memberitahukan kepada penduduk
Desa Siboang, apalagi pada suku Lauje (yang mendiami di pegunungan Sojol), sama
sekali tidak. Namun, anehnya Pak Guru sudah mengetahui kedatangan kami
sebelumnya.”
Saat
kami bertemu dengannya, beliau mengatakan, “saya sudah tahu kalian dan, maksud
kalian menemui saya” Hal ini sangat aneh, tapi kenyataannya seperti itu.
Pak
Guru juga, bukan sebagai “penentu” kebijakan yang bisa memastikan kedatangan
orang. Mungkin, batin dan imajinasi nya
bisa menerawang akan maksud dan kedatangan orang lain kepadanya. Dalam situasi seperti apapun yang menimpa,
baik itu para peserta pendakian maupun warganya yang ada di pegunungan Sojol,
Pak Guru pasti mengetahui hal itu.
Suatu
ketika, ada beberapa pendaki yang mencoba melanggar beberapa “aturan” yang keluar dari mulut Pak Guru. Dalam
perjalanan pendakian, salah satu dari mereka hampir tidak memiliki nyawa lagi,
karena arah mata sumpit sebagai senjata “pamungkas” suku lauje itu, hinggap di carier. Konon, mereka takut dengan
sebuah ponco (jas hujan)
berloreng-loreng: hijau, putih, coklat, seperti yang digunakan pendaki itu.
Entah
apa yang menyebabkan mereka seperti itu. Utamanya mereka yang masih tinggal diatas
pohon, takut dengan pakaian TNI.
Lenggak-lenggoknya
saat berjalan, suaranya yang semakin dimakan usia semakin tidak jelas,
telinganya, juga makin tidak mendengar. Membuatnya tidak Galau dalam menjalankan setiap aktivitasnya. Namun, satu hal yang
perlu diajukan jempol untuk pak guru ini. Beliau selalu tabah dalam menghadapi
hidup. Bukan karena ia pasrah, tapi lebih dari sekedar mencari sesuap nasi
untuknya sendiri dan bala cici-cucunya yang nakal. Yang sesekali membuat pak guru
bersuara besar, ketika cucunya bertingkah aneh dan tidak sepatutnya.
Juga
ada beberapa hal yang membuat kami terkagum-kagum padanya, adalah ketika jiwa
dan raganya dikorbankan untuk orang lain. Sifat kepahlawannya menyebabkan ia,
pak guru, sebagai sosok yang pemberani dan patut dicontohi.
Pak
Guru memang sangat akrab dengan Gunung Sojol, pada tahun 1993 dan 1994, Pak
Guru ikut berlibur dan memburu Triangulasi
di puncak Sojol bersama para anggota Kumtapala. Pak guru sangat berjasa bagi
Kumtapala. Bukan dari segi materi, namun dari berbagai hal.
Pak Guru, kau adalah “kunci Nomor
Dua” bagi gunung Sojol. Terima kasih pak guru, engkau telah berjasa bagi kami,
berjasa bagi keluargamu, saudaramu, tetanggamu dan, bagi rakyatmu di kawasan
gunung sojol. kami selalu ingat segala kebaikanmu, pengorbananmu dan, jiwa
tanpa pamrih-mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar