Suasana yang
gelap dan menyeramkan saat kami, tim Eksplorasi Gua Mapala Kumtapala Fakultas
Hukum Univ. Tadulako, tiba di mulut Gua
Durian Biro, Dusun Pakela, Desa Polewali Kecamatan Bambalamotu Kabupaten Pasangkayu
Propinsi Sulawesi Barat. Kegiatan ini
berlangsung selama tiga hari, dimulai dari tanggal 15 – 17 Juni 2012.
Diskusi Bersama Warga |
Kami yang terbentuk
satu tim, terdiri dari tujuh orang ini, star dari Base Camp Mapala Kumtapala
pada pukul 16.05 wita. Menuju kelokasi kegiatan yang, berbatasan dengan Propinsi
Sulawesi Tengah, dengan jarak tempuh mencapai kurang lebih 4 jam lamanya dengan,
memakai sepeda motor.
Jalan yang
begitu mulus, namun berdebu, saat memasuki Kabupaten Donggala. Debu-debu itu
seakan setia menemani kami sepanjang jalan, sehingga menyebabkan mata memerah
dan menghalangi laju motor kesayangan kami. Debu itu, diciptakan oleh “mobil
besar” milik beberapa perusahaan galian C, yang senantiasa mengangkut material.
Foto Bareng; Tim Eksplorasi |
Tepat pukul
19.15 wita, tim eksplorasi gua, tiba di Desa Polewali. Rumah kepala desa
menjadi sasaran tim saat itu. Kepalan tangan semakin menjadi-jadi dari semua
tim eksplorasi. Dingin, teramat dingin suhunya, mengakibatkan kami sesekali
meloncat-loncat untuk memanggil keringat dari dalam tubuh.
Dirumah kepala
Desa, kami hanya berjumpa dengan seorang perempuan, sepertinya ia adalah keponakan
dari kepala Desa Polewali, wajahnya yang berbinar-binar menunjukkan
ketidakkenalannnya terhadap kami bertujuh. Wajah yang jarang ia lihat itu
disambut dengan baik, dan dipersilahkan untuk masuk dan duduk dikursi sofa. Ditengah diskusi yang alurnya
tidak tahu kemana, tiba-tiba tujuh gelas kopi disodorkan dimeja yang berbentuk
persegi empat, siap untuk menghilangkan dinginnya angin malam.
“Paman saya ada
pergi ke Kota Palu, soalnya Bibi saya ada sakit, dan dirawat di rumah sakit,”
ungkap wanita itu, sambil tersenyum malu.
Hilman: Dalam Kesenyapannya |
Surat
Pemberitahuan kegiatan, yang sudah kami persiapkan sebagai bentuk legitimasi kepada pemerintah desa,
dengan terpaksa kami berikan ke kepala dusun Pakela, yang merupakan masuk dalam
wilayah administrasi gua Durian Biro.
Pada pukul 07.35
tim bergegas berangkat kelokasi Gua, sekitar 750 meter dari perkampungan warga. Jalur masih tertutup, untuk mencapai mulut Gua Durian Biro itu, harus berjuang
disela-sela rerumputan yang tinggi.
Dari tujuh orang
tim eksplorasi hanya Annisa, atau kami sering memanggilnya Amnesti (nama
lapangan), yang terlihat lelah. Badannya yang sedikit besar, membuatnya semakin
tidak berdaya akan tanjakan yang tim lalui.
Gua Durian Biro,
yang membutuhkan keahlian dan mental yang cukup untuk mencapainya. Sebelumnya,
kami melakukan simulasi Rapelling
diatas mulut gua tersebut, untuk mengingatkan kembali pada semua tim dalam hal
tambat-menambat. Tidak berbeda dengan pengalaman-pengalaman menelusuri gua
lainnya, bahwa kotoran kelelawar nakal tumpah ruah di lantai-lantai gua
tersebut. Keringat-pun sudah mulai bercucuran, ketika matahari timbul dari
balik gunung yang menyinari kami.
Kondisi gua, tim
masuk melalui jalur vertikal sekitar
dua meter. Tanpa mendapatkan kendala melalui jalur Vertikal itu, tim mendapatkan jalur horizontal. Ornamen-ornamen gua-pun menjadi ciri khas yang
menghiasi gua “calon” objek wisata alam dikemudian hari. Belum lagi, aliran
sungai yang begitu indah untuk dipandang, senantiasa untuk menghiasi dalam gua
tersebut. Memang, menjadi keunikan tersendiri, dari berbagai gua yang telah
kami jamah. Kelelawar bergelantingan
di atas pelafon gua dengan ketinggian sekitar lima meter, seakan-akan bernyanyi
untuk menyambut kedatangan tim sesuai dengan adat mereka.
Pemetaan |
Dihari pertama
ini, kami mengikuti aliran sungai yang cukup besar, berliku-liku seperti kris sang pangeran. Aliran sungai yang
kami perkirakan akan bermuara kelaut itu, cukup menghibur jiwa dan mata kami. Aula yang tersedia dalam gua tersebut
bisa digunakan untuk lapangan sepak takraw, berdiameter 10. Dalam gua tersebut
kami melakukan pemetaan, mendata biota
dalam gua, diantaranya : Kelelawar, Lipan, Jangkrik, Belut, katak, semut, udang
dan, ular. Data ini kami ambil untuk menjadi bahan kelengkapan Dokumentasi Mapala Kumtapala.
Hari sudah mulai
gelap, matahari terbenam mengikuti alur jam bumi, saat salah satu orang tim
yang bertugas menjadi bankom dimulut
gua mengatakan, melalui alat komunikasi. Tim bersiap untuk kembali kerumah
kepala dusun, setelah seharian penuh berjuang menelusuri gua yang nan indah
itu.
Pada pukul 18.49
tim berdiskusi dengan warga setempat. Suasana diskusi cukup alot. Menunjukkan,
bahwa kepekaan dan harmonisasi warga untuk tetap melindungi gua yang mereka
anggap keramat itu semakin kuat. Hal ini ditunjukkan dari mimik wajah dan cara
berbicara pada tim eksplorasi. Mereka, seakan-akan tidak rela gua tersebut dialih
fungsikan menjadi lahan pertambangan, sebagaimana yang terjadi di Kabupaten
Luwuk.
Hari ini, hari
yang cerah. Secerah wajah “Lionel Messi” ketika menjebol gawang lawan
dilapangan hijau. Burung-burung yang cantik dengan suara merdunya menghiasi
suasana dinginnya ditanggal 17 Juni 2012 ini. Suara gelas kaca, yang saling
bertabrakan sudah terdengar ditelinga kami. Sepertinya “Kopi” khas Sulawesi
Barat akan masuk ditenggorokan kami dipagi itu.
Yaaaa…!!!! Kami
sudah menebaknya, seorang ibu yang umurnya sekitar 50 tahunan itu, dengan
lenggak-lenggoknya mengimbangi tujuh gelas kopi yang dibawah secara bersamaan
diatas Baki berwarna merah.
Karena keasyikan
berdiskusi dengan warga yang bersilaturahmi ke rumah kepala dusun itu. Tim
berangkat ke lokasi gua pukul 09.56. Tidak
ada perbedaan dengan kondisi kemarin. Namun, saat ini kami langsung
masuk ke dalam gua, untuk memetakan dan
mencari aula-aula yang baru.
Ketua tim, Muh.
Rifky, memimpin doa sebelum masuk kedalam gua. Hal yang sama juga dilakukan
kemarin.
“Dengan
masing-masing keyakinan yang teguh, akan mengeluarkan sebuah energi keberanian.
Keberanian ini yang kemudian menjadi modal nomor kesekian, untuk menembus jalur-jalur yang ada didepan,” ungkap
Kiky.
Gua yang
sesekali menyebabkan banjir itu, menjadi kekhawatiran tim ketika datang hujan.
Karena menurut warga setempat, bahwa gua itu sudah beberapa kali didatangi banjir.
Baju, kayu dan berbagai macam yang tersangkut dalam gua tersebut menandakan
bukti telah terjadinya banjir. Saluran air yang diapit oleh lorong-lorong yang
sangat sempit sehingga, menyebabkan kami harus caving mencapai finish gua
tersebut.
Stalaktik dalam gua itu begitu kurang. Stalaktit berupa jenis
speleothem (mineral sekunder) yang menggantung dari langit-langit gua kapur. Ia
termasuk dalam jenis batu tetes (bahasa Inggris: dripstone.) Sedangkan Stalakmit merupakan pasangan
dari stalaktit, yang tumbuh di lantai
gua karena hasil tetesan air dari atas langit-langit gua.
Sebelumnya warga yang
bertempat tidak jauh dari lokasi gua itu, telah didatangi oleh orang yang
bertingkah aneh. Katanya ingin meneliti fosil atau peninggalan-peninggalan
sejarah dalam gua itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar