Oleh:
Sutanto Saganta, SH
Kita akan tertarik ketika membaca Tesis, “Sanksi
Pidana Adat Masyarakat Tau Taa Wana Dan Kontribusinya Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia,” yang ditulis oleh salah satu Dosen Fakultas Hukum
Universitas Tadulako, MHR. Tampubolon. Tesis ini, diharapkan akan menjadi
kontribusi dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia dimana semangat tersebut
telah lama di cita-citakan agar kita bisa memiliki peraturan hukum yang
bernuansa ke Indonesiaan serta sesuai dengan nilai-nilai dan budaya kita
sendiri. Sebagai negara yang pernah di jajah maka kita masih mewarisi hukum
yang berasal dari penjajah tersebut termasuk dalam hukum pidana (W,v,S). Hukum
yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak hukum warisan
Belanda atau masih dipengaruhi oleh hukum kolonial. Sementara itu, Ilmu hukum
(sistem hukum) di dalam masyarakat Indonesia mengandung karakteristik yang
berbeda karena berdasarkan pada konsep/ide-ide/wawasan yang berbeda juga.
Hukum Adat Sebagai Penyeimbang Terhadap Perilaku Menyimpang
“Ubi Societas,
Ibi Lus” (di mana ada masyarakat, disana ada hukum), sepintas mungkin kita akan
percaya dengan kata-kata itu bahwa dalam hidup bermasyarakat akan menjamin
keadilan dan kepastian hukum, maka dalam masyarakat itu perlu ada aturan-aturan
yang sifatnya mengikat yang juga di lengkapi sanksi guna pencapaian tujuan
tersebut. Dalam masyarakat yang masih mempraktekkan adat dan tradisinya,
biasanya aturan atau hukum yang berlaku ialah hukum adat. Salah satu komunitas
yang masih mempraktekkan hukum adat adalah komunitas Tau Taa Wana.
Adapun yang dimaksud dengan aturan adat adalah,
seperangkat aturan yang tidak tertulis atau yang biasa di bahasakan sebagai
hukum yang hidup dalam masyarakat (The
Living Law). Hukum yang hidup atau juga yang dikenal dengan hukum kebiasaan
tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Laporan Seminar Hukum Nasional ke VI
Tahun 1994 bahwa: Hukum kebiasaan mengandung arti yakni:
a.
Dalam arti identik dengan hukum adat
yang berlaku dalam masyarakat etnis dan lingkungan hukum adat:
b. Dalam arti kebiasaan yang diakui
masyarakat dan mengambil keputusan (decision
maker) sehingga lambat laun menjadi hukum (gewoonte recht/costomory law). Hukum kebiasaan ini bersifat
nasional dimulai sejak proklamasi kemerdekaan, terutama dalam bidang hukum tata negara, hukum kontrak hukum ekonomui dan
sebagainya.
Hukum kebiasaan merupakan sumber hukum yang penting
dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya menjadi aturan semata yang ada dalam
masyarakat akan tetapi juga menjadi penyeimbang terhadap perbuatan-perbuatan
atau perilaku yang dianggap menganggu keseimbangannya. Dalam komunitas masyarakat
adat Tau Taa Wana yang secara
internal hukum adatnya masih sangat kuat berlaku dan dipatuhi juga memiliki
aturan-aturan sebagai penyeimbang tersebut dan apabila ada yang melakukan
pelanggaran norma adat tadi maka, orang tersebut akan diberikan sanksi atau Givu. Givu di yakini oleh masyarakat adat Tau Taa Wana sebagai sarana untuk mengembalikan ketenteraman magis
antara alam lahir dan alam gaib, sekaligus meniadakan atau menetralisir suatu
keadaan sial (kapali atau pamali). Atau hal lain yang dilakukan
adalah upacara tulak bala atau yang
dikenal oleh masyarakat adat Tau Taa Wana
dengan ritual Pala-mpa yang bertujuan
untuk mengembalikan keseimbangan dari kekuatan magis yang dirasakan telah
terganggu.
Eksistensi
Pidana Adat Masyarakat Tau Taa Wana Dalam Kehidupan Bermasyarakat.
Seperti
yang diuraikan dalam Tesis tersebut, bahwa masyarakat Tau Taa Wana adalah masyarakat yang masih memiliki dan mematuhi
nilai-nilai adat serta menjunjung nilai tersebut terjadi pelanggar adat, maka
yang berperan adalah perangkat adatnya (Ketua Adat) di mana sanksi atau Givu adat diberikan lewat peradilan
adatnya. Masyarakat adat Tau Taa Wana,
juga mempersepsikan bahwa perbuatan melanggar hukum adat sebagai aturan (ada)
yang diwariskan oleh para leluhur mereka adalah perbuatan tidak menghormati
atau menghargai nenek moyang (ntau tua)
dalam bahasa Taa disebut Kapali. Sebagai perbuatan yang memalukan
atau pantang. Perbuatan yang bermakna kapali,
merupakan perbuatan yang jahat dan sangat tercela, (mangingka pogusa) karena dapat mengganggu keseimbangan (ketertiban)
sosial, sehingga selayaknya diberi sanksi pidana adat atau givu. Eksistensi hukum adat tersebut menjadi faktor penentu untuk
mencapai tujuan yang di cita-citakan bersama dalam masyarakat Tau Taa Wana yaitu hidup tentram dan
damai.
Sanksi/Givu sebagai Faktor Penentu Tegaknya
Hukum Adat
Sanksi
pidana adat mempunyai peranan penting dalam masyarakat adat, yang tidak saja
tindak pidana (delic) adat yang
menganggu kehidupan masyarakat yang diberi sanksi, akan tetapi pelanggaran (delic) adat yang menganggu kehidupan
perorangpun juga dikenakan. Penerapan sanksi pidana adat berdasarkan konspesi
hukum adat, bertujuan untuk mengembalikan dan menjamin keseimbangan kosmis, dimana keseimbangan di fokuskan
pada dunia lahir dan gaib, guna mendatangkan rasa damai antara sesama warga
masyarakat adat dan masyarakat lainnya. Selain itu tujuan pemidanaan tersebut
dirasakan adil baik oleh terhukum, korban dan masyarakat, sehingga dengan
demikian maka gangguan, ketidakseimbangan atau konflik akibat pelanggaran adat
akan kembali normal dalam keseimbangan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap
nilai-nilai adat pada komunitas masyarakat Tau
Taa Wana sering kali terjadi, namun, dengan diterapkannya hukum adat serta
pemberian Sanksi/Givu kepada
pelanggar tersebut keseimbangan dapat di capai dengan mengedepankan rasa
keadilan yang memang bersumber dari masyarakat tersebut. Sanksi pidana adat
yang dikenal di masyarakat adat Tau Taa
Wana seperti Givu ada bayar
(denda), Vintasi (ganti rugi), mawali watua (kerja sukarela/kerja).
Dalam penegakan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, peranan Ketua Adat
(ketua ada) sangatlah penting, sebab, yang akan menjatuhkan sanksi/Givu tersebut adalah ketua adat.
Hukum
Adat di Antara Belenggu Hukum Negara
Keberanian
masyarakat hukum adat Tau Taa Wana,
adalah salah satu lingkungan hukum yang ada di pulau Sulawesi, tepatnya
Propinsi Sulawesi Tengah yang secara internal hukum adatnya masih sangat kuat
berlaku dan dipatuhi, dan juga merupakan sumber kekayaan hukum pidana nasional.
Hukum adat merupakan warisan dari para leluhur yang dalam penjabaran merupakan
hukum yang tidak tertulis, sementara, hukum negara adalah aturan yang di buat
oleh lembaga yang berwenang mengeluarkan produk hukum dimana, dalam proses
pembuatannya bernuansa politis. Tesis tersebut juga menjelaskan bagaimana
sistem hukum pidana adat sering terabaikan dalam kebijakan formulasi peraturan
perundang-undangan pidana. Sanksi pidana adat yang selama ini hidup dan
berkembang tidak menjadi salah satu faktor penentu dalam mengenakan atau
menjatuhkan sanksi pidana, memang kita juga harus menyadari sebagai konsekuensi
dari negara hukum yang lebih mengedepankan asas
legalitas sehingga segala sesuatunya itu harus di atur terlebih dalam produk peraturan yang tertulis, namun
hal tersebut tidaklah menjadi alasan terhadap pengakuan hukum adat tersebut
yaitu dengan lahir Undang-undang Nomor 14 Tahun Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal
16 ayat (1) bahwa: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Tugas hakim
tidaklah hanya menjatuhkan putusan di pengadilan melainkan juga mencari dan
menggali keadilan yang sejati dapat terwujud.
Bagaimana
Dengan Kita?
Besar
harapannya Tesis yang ditulis oleh Bapak MHR Tampubolon tersebut dapat
memberikan sumbangsih terhadap pembaharuan hukum pidana Indonesia yang mana
kita ketahui bersama bahwa semangat untuk melakukan pembaharuan, sesungguhnya
sudah dimulai sejak tahun 1960-an. Semangat untuk menggantikan KUHP dengan
hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai ke Indonesiaan merupakan keharusan.
Seperti yang terungkap dalam Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar hukum
Nasional I Tahun 1963 yang termuat dalam Resolusi Butir IV.
Indonesia
negara besar memiliki hukum yang hidup dalam masyarakat yang sangat plural
antara daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda, contohnya masyarakat Tau Taa Wana yang juga memiliki
aturan-aturan adatnya sendiri, namun hal tersebut belum mendapat tempat yang
strategis dalam peraturan tidak bertentang dengan Undang-undang yang berada di
atasnya (lex superior derogot legi
inferiori) serta harus mendapatkan pengakuan terlebih dahulu.
Kita
sudah seharusnya menghormati nilai-nilai yang tumbuh di dalam masyarakat adat,
sebab nilai kepatutan terhadap hukum di dalam masyarakat adat akan lebih tinggi
kepatutan terhadap nilai-nilai adatnya, yang pada hukum positif yang dibuat
oleh negara. Proses pembuatan tesis tersebut bukanlah pekerjaan gampang sebab
lokasi penelitian harus menelusuri
sungai Bongka dan melewati gunung yang terjal, bahkan penulis sendiri
sempat sakit Demam maklum di daerah tersebut terkenal dengan nyamuknya namun
itu tidak menjadi halangan untuk melakukan penelitiannya.
Tulisan
ini, seluruhnya bersumber dari Majalah Silo Edisi 25 Tahun 2007. (Yayasan Merah
Putih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar